Tradisi Mengundang Hujan "Perang Rotan" Gebug Ende Karangasem

 

Banyak tradisi dan budaya unik yang dimiliki oleh wilayan Bali Timur terutama dalam tradisi perangnya. Menampilkan atraksi heroik yang saling bertarung dengan penuh keberanian dan mengadu nyali, seperti salah satunya yang akan dibahas saat ini yakni tradi Gebug Ende yang berasal dari desa Seraya. Namun, selain itu ada pula perang pandan atau tradisi mekare-kare di Tenganan Pageringsing, Perang pelepah pisang dan perang jempana di desa Bugbug, Mesabatan biu atau perang dengan menggunakan buah pisang di Tenganan Dauh Tukad dan Terterab atau perang Api di desa Jasri.

Sumber:
https://bit.ly/36angEh

Sejarah Gebug Ende

Pada jaman kerajaan Karangasem, warga desa seraya  banyak yang menjadi prajurit untuk menyerang kerajaan Seleparang yang berada di Lombok. Pada saat itu warga Seraya terkenal perkasa, kuat dan tangguh sehingga dijadikan garda terdepan dalam penyerangan itu. Dan hasilnya kerajaan Selaparang dapat dikuasi oleh Kerajaan Karangasem.

Prajurit desa Seraya yang memiliki semangat yang begitu membara masih merasa belum puas setelah memenangkan peperangan tersebut. Pada akhirnya meraka saling menyerang teman sendiri dengan peralatan yang seadanya. Seiring dengan kejadian tersebut munculah permainan Gebug Ende yang akhirnya diwariskan sampai saat ini.

Tradisi Unik di Karangasem

Siapa yang tidak kenal tradisi ini? Memang tidak dapat dipungkiri bahwa atraksi wisata yang satu ini sangat menarik dan menjadi hiburan yang menyenangkan bagi wisatawan. Budaya unik dari wilayah timur Bali ini terkenal dengan tradisi perang, yang menampilkan atraksi heroik yang membutuhkan keberanian. Gebug Ende Seraya merupakan warisa budaya dari leluhur yang masih dilakoni sampai saat ini. Tradisi ini digelar berkaitan musim kemarau  atau bisa dibilang sebagai permohonan meminta turunnya hujan pada sasih Kapat atau pada bulan Oktober-November. Karena memang di Seraya merupakan daerah yang cenderung tandus dan memang jarang turun hujan, maka dari itu sangat diharapkan turunnya hujan agar tidak menjadi kendala jika terjadi kemarau yang berkepanjangan.

Atraksi wisata ini memang telah menjadi tradisi turun menurun di desa Seraya, Kabupaten Karangasem sampai saat ini. Gebug Ende sendiri merupakan perang rotan yang dilakoni oleh 2 pemuda yang saling bertarung kurang lebih selama 10 menit. Dalam adu tanding Gebug ende ini peserta berhadapan siap saling serang dan masing-masing membawa sebatang rotan sepanjang 1.5 - 2 meter untuk memukul lawan  atau dinamakan "Gebug" dam sebuah perisai yang dinamakan "Ende" untuk menangkis lawan. Pemuda yang bertanding berpakaian adat madya yang dilengkapi dengan udeng (ikat kepala) berwarna merah yang melambangkan keberanian. Mereka melakukan pertarungan tersebut dengan bertelanjang dada. Selama pertarungan akan diiringi dengan suara gamelan sehingga menambah ketegangan dan memicu semangat pada saat bertanding. Dalam areal pertandingan dipasang sebuah sebuah batang rotan sebagai pembatas antara kedua pemaian dan tidak boleh memasuki areal lawan. Tradisi ini merupakan ritual yang dilakukan setiap tahunnya untuk mengundang hujan. Sebelum tradisi Gebug Ende tersebut digelar para tetua akan melakukan persembahyangan agar prosesi tersebut berjalan lancar dan mendapatkan berkah dan kemakmuran bagi rakyat Seraya. Ritual ini akan menjadi lebih baik apabila saat pertandingan ada yang terluka hingga mengeluarkan darah. Karena, dengan hal tersebut hujan dipercaya akan cepat turun. 

Cara Menuju Lokasi Tempat Pelaksanaan Tradisi Gebug Ende

Desa Seraya terletak sekitar 10km dari pusat kota Amlapura, jika dari Ngurah Rai International Airport membutuhkan waktu sekitar 2.5 jam dengan menggunakn mobil, setelah melewati objek wisata Taman Ujung Karangasem. Desa Seraya sendiri memang terletak di daratan tinggi, dimana kondisi geografis tanahnya cenderung tandus dan kering pada saat musim kemarau, sehingga kondisi yang seperti ini kurang menguntungkan bagi para petani, karena memang penghasilan utama masyarakat sekitar berasal dari alam. Tradisi perang rotan ini digelar di tempat-tempat umum, yang bertujuan untuk menarik perhatian dan bisa mengundang lawan desa lainnya, tidak hanya diikuti oleh orang dewasa namun juga bisa diikuti oleh para pemuda.  Tujuan utama dilakukan tradisi ini adalah memohon hujan, walaupun tidak serta merta hujan tidak bisa turun ke bumi. Namun, setidaknya mereka telah berusaha untuk memohon kepada Tuhan serta mempertahankan tradisi yang sudah turun menurun tersebut agar tidak punah. 

Komentar